Gedung e-Building Jl. Suryopranoto No.2 Ruko Harmoni Plaza Blok I No.1-4 Jakarta Pusat
  • 021 - 632 3399
  • info@cae-indonesia.com
  • Masuk

Artikel

Membangun Resiliensi Anak Dalam Menghadapi Segala Tantangan Kehidupan

image


Dalam hidup ini siapa yang kebal terhadap kesulitan? Siapa yang tidak akan mengalami masalah? Hidup sepertinya dikelilingi oleh kesulitan dan masalah. Demikian juga seorang anak. Untuk bisa terus menjalani hidup, anak perlu resiliensi. Seorang anak yang punya resiliensi mempunyai kekuatan yang lebih baik untuk menghadapi kesulitan dan masalah. Resiliensi seperti tanaman yang tetap dapat bertumbuh walaupun di tempat yang kering dan berbatu

Werner (1955-1985) melakukan penelitian pada anak-anak suku Kauai, di Hawai’i yang memiliki orang tua alkoholik, mengalami gangguan mental dan mayoritas tidak bekerja.  Hasil penelitiannya menunjukkan dua pertiga dari anak yang tumbuh disana menunjukkan perilaku destruktif setelah lepas usia 10 tahun, tidak memiliki pekerjaan, terlibat penyalahgunaan obat terlarang dan mengalami kehamilan di luar nikah.  Sepertiga sisanya tidak menunjukkan perilaku destruktif dan disebut Werner sebagai anak-anak yang resilien. 

Resiliensi adalah kapasitas untuk mempertahankan kemampuan, untuk berfungsi secara kompeten dalam menghadapi berbagai stresor kehidupan (Kaplan dkk., 1996; Egeland dkk., 1993).  Resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik, yaitu:  adanya kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam menghadapi stress ataupun bangkit dari trauma yang dialami (Masten dan Coatsworth, 1998).

Resiliensi bukan trait yang bersifat statis (Cicchetti dan Toth, 1998), yang dimiliki oleh seseorang sejak lahir, atau secara otomatis bertahan dalam diri seseorang setelah sekali ia berhasil mencapainya (Meichenbaum, 2008).  Resiliensi merupakan proses dinamis yang mencakup adaptasi positif dalam konteks situasi yang sulit, mengandung bahaya maupun hambatan yang signifikan, yang dapat berubah sejalan dengan waktu dan lingkungan yang berbeda (Luthar dkk., 2000; cicchetti dan Toth, 1998).

Anak yang resilien dapat menghadapi stress dengan lebih baik dan beradaptasi.  Anak yang resilien dapat bangkit kembali dan pulih seperti sedia kala setelah mengalami stres.  Kemampuan anak yang resilien sangat dipengaruhi oleh faktor risiko dan protektif, baik dari dalam maupun luar diri individu.  Faktor risiko adalah sesuatu yang membuat seorang anak semakin rentan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.  Faktor protektif adalah faktor yang memperkuat dan memberikan pengaruh yang positif bagi anak untuk mampu memunculkan strategi koping yang efektif terhadap stres yang dialami.  Semakin kuat faktor protektif, semakin besar peluang anak untuk mencapai resiliensi. 

Bila kita ingin seorang anak menjadi individu yang resilien maka kita perlu menyadari apa faktor risiko dan faktor protektif yang anak miliki.  Berdasarkan teori ekologi Bronfenbrenner (1979), keluarga sebagai mikrosistem dan lingkungan utama dalam perkembangan individu memiliki kontribusi yang besar terhadap pencapaian resiliensi.  Seorang anak yang resilien tidak terlahir begitu saja.  Anak membutuhkan keluarga sebagai tempat yang aman untuk mereka belajar dan mengembangkan resiliensi dalam menghadapi stres, kesulitan dan masalah dengan lebih baik dan dapat lebih bisa beradaptasi sampai mereka dewasa.